Jumat, 05 Desember 2008

Agam Wispi (1930-2003)

Goenawan Mohamad
http://majalah.tempointeraktif.com/

Di sebuah rumah jompo di Amsterdam yang dingin, tahun 2003 dibuka dengan seorang penyair yang meninggal. Ajal datang hanya beberapa menit setelah 31 Desember. Itu hari ulang tahunnya. Saya bayangkan ia, persis pada usia 72 itu, sendiri, mungkin dalam kamar yang padam lampu, ketika cuaca di luar di bawah nol.


Hampir 40 tahun lamanya ia juga praktis diletakkan dalam gelap dan dalam sunyi. Indonesia seakan-akan melupakannya, Agam Wispi, satu dari khazanah nasional yang berharga: bukan saja puisinya yang cerah dan menggugah, tapi juga hidupnya sebagai satu saksi sejarah Republik?sebuah sejarah yang tak putus-putusnya digerakkan oleh cita-cita dan dihantam kekerasan.

Ia telah mengalaminya bahkan sejak awal. Di rumah masa kecilnya pernah menginap Tan Malaka, dalam salah satu perjalanan rahasia. Ketika itu, demikianlah ia pernah bercerita kepada saya, dari Aceh orang tua Wispi pindah sebentar ke Singapura, satu migrasi yang biasa di masa kolonial tahun 1930-an itu. Si ayah seorang komunis yang tak dikenal, dan kedatangan tokoh bawah-tanah itu bukan hal yang ganjil. Bahkan ke rumahnya pula pernah singgah Muso, kurang-lebih sembilan tahun sebelum memimpin PKI dalam "Peristiwa Madiun" 1948 yang berakhir dengan pertumpahan darah dan rentetan eksekusi itu.

Wispi sendiri kemudian juga jadi anggota Partai. Tapi pada awal, dan pada akhirnya, ia seorang penyair; ia redaktur kebudayaan di Harian Kerakyatan dan Pendorong di Medan dari tahun 1952 sampai 1957. Tulisannya dapat perhatian Nyoto, pemimpin partai yang juga penulis yang cemerlang itu, yang hampir selamanya jadi pelindung para seniman yang resah dan meresahkan dalam rumah besar PKI. Di tahun 1957 Agam diminta pindah ke Jakarta untuk jadi redaktur kebudayaan Harian Rakjat, koran resmi Partai.

Tapi tak selamanya mudah, di mana pun juga, untuk hidup dengan puisi dan sekaligus dengan "politik keyakinan". Puisi adalah kata, bunyi, nyanyi, dan imajinasi, yang ternyata tak selamanya disusun dari satu subyek yang jernih, utuh, dan sadar. "Pena-lah yang bermimpi," kata Gaston Bachelard. Keyakinan adalah hal lain lagi.

Tapi tak berarti bahwa seorang penyair dapat dengan mudah menyerahkan pena dan mimpi itu kepada iman dan ideologi. "Politik keyakinan"?yang ingin mengubah bumi berdasarkan sebuah tafsir yang diyakini tentang hidup dan mati?sering meletakkan penyair di dalam peran yang berlebihan. Keyakinan, kita tahu, menuntut sikap sadar yang teguh dan terkendali. "Sastrawan adalah insinyur jiwa manusia," kata Stalin. Kalimat itu terkenal, tapi juga terbukti salah, karena menulis puisi tak sama dengan merancang-bangun. Menulis puisi adalah ibarat memasuki alam serat, (dalam leksikon Jawa, puisi adalah serat), seakan-akan menempuh serabut dengan jalinan yang pilin-memilin, berbeda-beda dan majemuk lekuknya, tak lurus lempang. Dengan itu, bagaimana ia akan dapat mengawali hari "kejadian kedua", untuk mengikuti kiasan Ilya Ehrenburg, setelah Tuhan membangun hari kejadian pertama?

Tapi ia tak bisa bilang "tidak". Seorang penyair toh tahu bahwa dunia memang sudah saatnya "berganti rupa", sebagaimana dimaklumkan lagu Internasionale. Bahkan dengan serat yang kusut, penyair tetap terdorong untuk memberi bentuk, atau Gestalt, kepada sengkarut dan sengketa dalam hidup?sebagai sebuah pemberontakan atas keadaan tempat ia dilemparkan. Pada suatu hari Agam Wispi menyaksikan keadaan itu di awal tahun 1960-an, ketika di Tanjung Morawa tanah garapan para petani miskin digusur dengan traktor dan bedil, dan dari kantor Barisan Tani Indonesia rakyat memprotes, dan seorang petani mati ditembak:

dia jatuh
rubuh
satu peluru
dalam kepala

ingatannya melayang
didakap siksa
tapi siksa cuma
dapat bangkainya

Ketika sajak itu terbit dalam antologi Matinja Seorang Petani (1961) ia dilarang oleh penguasa militer yang waktu itu ditegakkan bersama dengan "Demokrasi Terpimpin". Tapi dalam memberangus puisi, seperti halnya dalam membunuh petani, kekuasaan selamanya "cuma dapat bangkainya". Puisi dan pemberontakan adalah juga "roh", tak pernah hanya bangkai.

Tentang kenyataan itu, kekuasaan memang acap tak sabar. Juga kekuasaan yang hendak mengubah dunia. Kekuasaan menginginkan sesuatu yang efektif. Ketika ia bertaut dengan keyakinan, ia butuh sesuatu yang mantap: puisi (yang bukan "bangkai") tak dikehendaki melesat ke mana-mana seperti roh yang sesat. Juga pemberontakan tak boleh hanya jadi ledakan yang tak sistematik. Tentang itulah Lenin berbicara akan perlunya "teori revolusi" dan Mao menganjurkan "konsolidasi ideologis". Segalanya harus dibariskan. Maka puisi pun jadi slogan, pemberontakan jadi program.

Agam Wispi, penyair kita, gelisah dengan pilihan yang sulit itu. Sebagai redaktur kebudayaan Harian Rakjat ia menolak puisi buruk yang sarat semboyan revolusi yang dikirim kepadanya untuk dimuat, meskipun kadang-kadang penyairnya dapat stempel dukungan dari pengurus PKI di daerah. Wispi termasuk yang tak henti-hentinya menghendaki "tinggi mutu ideologi" dan sekaligus "tinggi mutu bentuk". Saya kira ia sering kecewa.

Saat itu memang belum ditelaah bahwa mungkin bukan soal bentuk "buruk" yang sebenarnya terjadi dalam puisi Lekra (sebagaimana juga dalam puisi perjuangan lain), melainkan keajekan. Wispi pernah menyebutnya sebagai laku "memamah-biak". Tapi pengulang-ulangan memang tak bisa dielakkan. Sebab, apa boleh buat, "politik keyakinan" menghendaki keajekan yang konsisten, bukan kesegaran yang tak diduga-duga. Keajekan itu, ketika perjuangan kian sengit, menjadikan puisi mandek, mengeras, dan teori pun jadi doktrin dan Partai mirip takhta suci yang teguh tak bisa bersalah. Marx akan menyebutnya sebagai Verdinglichung yang menafikan kebebasan dan kesegaran.

Jika dalam diri Agam, dorongan "kesegaran" itu sulit dielakkannya, sebab ia memang penyair. Pada akhirnya ia memang memilih puisi sebagai satu-satunya rumah, juga pendamping akrab dalam menjelajah dan membebaskan:

puisi, hanya kaulah lagi tempatku pulang
puisi, hanya kaulah lagi pacarku terbang

Ada yang sunyi, tapi juga heroik, dalam pilihan seperti itu: pada akhirnya puisi dan politik justru bersenyawa ketika mobilisasi "politik keyakinan" tak ada lagi. Ia bergerak hanya dari hasrat pembebasan. Ketika Partai tak hadir, apalagi sebagai takhta suci, politik pun berjalan sendiri bersama puisi, merasuk ke dalam puisi, mengalami transformasi bersama puisi.

Jalan cukup panjang ke arah itu bagi Agam. Tragedi besar tahun 1965 membuat Partai hancur, tapi sesuatu yang lebih dalam sebenarnya berlangsung pada Wispi. Ketika peristiwa 30 September 1965 terjadi, ia tak berada di Indonesia. Sejak Mei 1965, Agam berada di Vietnam selama beberapa bulan. Di Hanoi ia sempat bertemu dengan Ho Chi-Minh. Kepada pemimpin Vietnam itu Wispi, selaku wartawan Harian Rakjat, minta izin untuk meliput kegiatan gerilya Front Nasional Pembebasan Vietnam Selatan. Ho memberinya jalan: Agam harus ke Kamboja lebih dulu, dan untuk dapat masuk Kamboja, ia harus ke Beijing, untuk dapat perkenan dari wakil pemerintahan Sihanouk.

Di Beijing dilihatnya ratusan orang Indonesia yang diundang untuk ikut dalam perayaan Revolusi Oktober. Tak disangka-sangka pada pagi 1 Oktober mereka diberi tahu bahwa sesuatu yang dramatik terjadi di Jakarta di malam sebelumnya.

Suasana politik di Indonesia pun berubah sama sekali. PKI, yang sebelumnya praktis menguasai arena politik, sejak hari itu terpojok. Pemerintah RRC memutuskan agar orang Lekra dan PKI tak kembali ke Indonesia. Mereka, sekitar 250 orang, ditempatkan di Nanking, di sebuah asrama bekas barak Tentara Nasionalis.

Mereka tak menyangka akan harus tinggal di sana begitu lama?dan bahkan tak bisa pulang seterusnya. Agam bercerita bagaimana selama itu harap sering bercampur ilusi, dan informasi yang terbatas menyebabkan arah yang rancu. Di masa itu pula Cina dilanda "Revolusi Kebudayaan"?sebuah kekacauan besar tersendiri, juga dalam pemikiran Marxisme-Leninisme. Sebab "Revolusi" yang dilancarkan Mao dengan jutaan Pengawal Merah itu adalah pemberontakan komunis melawan Partai Komunis, sesuatu yang tak terbayangkan sebelumnya oleh kaum Marxis-Leninis yang mana pun. Partai Komunis Cina praktis diganti dengan Mao yang dikultuskan, "teori" revolusi digantikan dengan Buku Merah Kecil, Marxisme-Leninisme diambil-alih oleh mantra Maois yang dihafal.

Agam Wispi menyaksikan semua itu dengan frustrasi dan, saya duga, dengan kepahitan. Selama lima tahun di asrama di Nanking itu ia melihat mencongnya perilaku dari ajaran. Terkungkung bersama di satu tempat, perangai masing-masing anggota komunitas Indonesia itu pun kian transparan. Orang Partai yang selama ini diharapkan jadi "komunis yang baik" tampak cacatnya sebagai manusia biasa. Pertengkaran terjadi. Solidaritas ternyata tak cukup. Di mana yang ideal itu, sebenarnya?

Bahkan agaknya bagi Agam, yang ideal tak terdapat di luar kamp. Dalam suasana Cina yang gemuruh itu terkadang orang-orang Indonesia itu dibawa bekerja di dusun. Banyak yang bersemangat, juga ketika mengumpulkan tahi manusia dengan tangan telanjang untuk dijadikan pupuk. Tapi Agam, sebagaimana dikatakannya kepada saya, kian skeptis. Ia kian membangkang. Ia mulai berusaha untuk pergi dari sana. Ia membayangkan indahnya Danau Baikal yang jauh.

Dengan sedikit muslihat akhirnya, di tahun 1973, ia dapat izin untuk pergi. Ia berangkat ke Moskow dengan kereta api. Tak banyak yang diceritakannya tentang hidupnya di Uni Soviet, mungkin karena ia sebenarnya ingin ke Jerman Timur, yang di tahun 1959 dikunjunginya selama setahun, masa ketika ia menuliskan kuatren-kuatrennya yang memukau, Sahabat. Akhirnya ia ke Lepizig juga. Sampai 1978 ia tinggal di sana, belajar kesusastraan Jerman, bekerja di sebuah perpustakaan, dan mulai menerjemahkan Faust, yang diterbitkan oleh Kalam, Jakarta, di tahun 1999.

Saya tak ingat benar apa yang dikisahkannya tentang hidupnya di Lepizig. Yang saya ingat ia, dengan bahasa Jermannya yang fasih, mulai menggemari media TV dan surat kabar di Berlin Barat. Ia kagum akan perdebatan intelektual yang dilangsungkan di layar dan di pagina pagi. Ia juga terkejut karena baru pertama kalinya ia menemukan apa yang dulu selama di Indonesia tak diketahuinya: misalnya tentang yang terjadi dalam kesusastraan Soviet di bawah doktrin "realisme sosialis" Zhdanov?yang di Indonesia pernah dikutip Pramoedya Ananta Toer?sebuah doktrin yang ternyata membungkam ratusan sajak dan, dengan titah Stalin, mengirim penyair Osip Mandelstam ke pembuangan di Siberia sampai mati. Dari sini pula terasa getirnya kepada "orang politik", sebagaimana kita temukan dalam sajaknya untuk novelis Asahan Aidit:

tak ada tokoh politik berani minta maaf
kepada mendelstam
karena serangkum sajaknya mati disiksa
di siberia buangan

Ada teman lamanya di Indonesia yang kecewa bahwa Agam pernah menyebut komunisme sebagai "satu eksperimen yang gagal". Ia memang sering menunjukkan sikap nakal dan mencemooh, dan mungkin ia, yang bertahun-tahun jauh dari Indonesia, tak cukup peka merasakan betapa sakitnya orang-orang komunis yang dianiaya dan dihina di sini. Dihancur-hitamkan oleh "kaum kanan" sudah merupakan hal yang pedih, dan kini mereka dianggap sebagai pendukung "eksperimen yang gagal" oleh kawan sendiri.?

Tapi saya kira Agam Wispi tak pernah berhenti berpikir tentang teman-teman lamanya dengan rasa rindu. "Ketemu sahabat lama mahabagia daripada di surga mana pun!" kata selarik sajaknya. Dan jika ia mengatakan komunisme sebuah "eksperimen yang gagal", saya kira ia tak hendak menyebut komunisme sebuah kejahatan. Bagaimanapun, apa yang diperjuangkan Marx dan diteruskan Lenin dan beribu-ribu pengikutnya dalam sejarah abad ke-20 adalah sebuah pergulatan yang sengit dan harapan yang luhur untuk keadilan. PKI mati, komunisme gagal, tapi pergulatan dan harapan macam itu mustahil musnah. Apa yang dituliskan Agam di tahun 1960-an bahkan masih bisa bergema di hari ini, meskipun kata "jenderal" di bawah ini kini bisa juga diganti dengan "pejabat" atau "politikus":

jenderal
telah kupasang bintang-bintang di dada kalian
dari rejam tuan tanah dan lintah
kutuntut bintangmu: mana tanah!

Tanah dan kemerdekaan bertaut, menjadi suatu kebutuhan asasi. Merupakan satu tanda sejarah yang sedih?sejarah yang digerakkan oleh cita-cita dan dihantam kekerasan?bahwa kebutuhan itu kini berkait bukan hanya dengan si miskin, tapi juga dengan para eksil. Sebab mereka ini, hidup "klayaban" bertahun-tahun di luar negeri, seraya tak putus-putusnya, seperti kita, mencintai Indonesia, sebenarnya mirip buruh tani dalam sajak S. Anantaguna: orang-orang "yang bertanahair, tapi tak bertanah", orang-orang yang rindukan sebuah negeri, tapi di sana tak diberi tempat bersama lagi.

Agam Wispi adalah salah satu di antaranya, dengan akhir hayat yang pernah dituliskannya dengan sayu:

?suatu hari: kau mati
dalam sunyi
tentu! sendirian: sendiri

Jakarta, 4 Januari 2003

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Alexander A. Anzieb A. Aziz Masyhuri A. Dahana A. Khoirul Anam A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.C. Andre Tanama A.J. Susmana A.S. Laksana A’an Jindan AS Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Lathif Abdul Malik Abdul Rauf Singkil Abdul Walid Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abid Rohmanu Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adek Alwi Adhi Pandoyo Adhitia Armitrianto Adhy Rical Adi Faridh Adian Husaini Adin Aditya Ardi N Adreas Anggit W. Adrizas Adu Pesona Sang Wakil Presiden RI AF. Tuasikal Afri Meldam Afrizal Malna AG. Alif Agama Agama Para Bajingan Agit Yogi Subandi Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Rakasiwi Agus Sulton Agus Wibowo Agus Wirawan Aguslia Hidayah AH J Khuzaini Ah. Atok Illah Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Anshori Ahmad Damanik Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Gaus Ahmad Hasan MS Ahmad Jauhari Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad S. Zahari Ahmad Syafii Maarif Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ainul Fiah Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhmad Siddiq Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Aksin Wijaya Al-Fairish Al-Ma'ruf I Al-Ma'ruf II Alang Khoiruddin Albert Camus Ali Mahmudi Ch Alia Swastika Alvi Puspita Alvin Amien Wangsitalaja Aminah Aming Aminoedhin Ana Mustamin Anam Rahus Anas AG Andhi Setyo Wibowo Andi Gunawan Andry Deblenk Angela Anggie Melianna Anindita S. Thayf Anis Ceha Anitya Wahdini Anjrah Lelono Broto Antologi Sastra Lamongan Anugerah Ronggowarsito Anwar Nuris Aprillia Ika Arida Fadrus Aridus Arie MP Tamba Arie Yani Arief Junianto Ariel Heryanto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Armawati Arswendo Atmowiloto Art Sabukjanur Arti Bumi Intaran Arwan Aryo Wisanggeni Aryo Wisanggeni Gentong AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Ashadi Ik Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Asro Kamal Rokan Astrid Reza Asvi Warman Adam Atafras Atok Witono Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azwar Nazir Baca Puisi Badrus Siroj Bahrul Ulum A. Malik Balada Bambang kempling Bambang Riyanto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bastian Zulyeno Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berita Utama Bernando J. Sujibto Bernarda Rurit Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Bre Redana Brunel University Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Jay Utomo Budi P. Hatees Budi Palopo Budi Setyarso Budi Sp. Indrajati Budiman S. Hartoyo Budiman Sudjatmiko Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Candrakirana Cangaan Ujungpangkah Gresik Jawa Timur Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cawapres Jokowi Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Choirul Rikzqa Christian Heru Cahyo Saputro Cover Buku D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dadang Widjanarko Damiri Mahmud Dani Fuadhillah Daniel Paranamesa Darju Prasetya Dati Wahyuni Dawet Jabung Ponorogo Dedykalee Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Desa Glogok Karanggeneng Lamongan Deshinta Arofah Dewi Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan Dewi Anggraeni Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Didik Kusbiantoro Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Djulianto Susantio Dody Kristianto Dody Yan Masfa Dorothea Rosa Herliany Dr Andi Irawan Dr Siti Muti’ah Setiawati Dr. Hilma Rosyida Ahmad Drs H Choirul Anam Drs. Solihin Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo Maksum Dyah Ayu Fitriana Eddi Koben Edeng Syamsul Ma’arif Edy Apriyanto Sudiyono Edy Firmansyah Edy Susanto Efri Ritonga EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eko Hartono Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful El Sahra Mahendra Elita Sitorini Elly Trisnawati Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Em. Syuhada' Emha Ainun Nadjib Encep Abdullah Eni Sulistiyawati Eny Rose Esai Ester Lince Napitupulu Etik Widya Evan Ys F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Fahrur Rozi Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fathan Mubarak Fathul Qodir Fathul Qorib Felix K. Nesi Festival Gugur Gunung Festival Seni Surabaya 2011 Festival Teater Religi Pelajar SLTA Se-kabupaten Lamongan Fikri. MS Fiqih Arfani Firman Daeva Forum Lingkar Pena Lamongan Forum Penulis dan Penggiat Literasi Lamongan (FP2L) Forum Santri Nasional Forum Santri Nasional (FSN) Free Hearty Galuh Tulus Utama Gandis Uka Ganug Nugroho Adi Gedung Sabudga UNISDA Lamongan Gendut Riyanto Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gesit Ariyanto Gita Pratama Glenn Fredly Goenawan Mohamad Golput Gombloh Gombloh (1948 – 1988) Grathia Pitaloka Gugun el-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Hadi Napster Hafis Azhari Halim HD Halimi Zuhdy Hamid Dabashi Han Gagas Hardi Hamzah Hari Prasetyo Haris Del Hakim Haris Saputra Hary B Kori’un Hasan Basri Marwah Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasyim Asy’ari Hendro Situmorang Henri Nurcahyo Henry H Loupias Hera Khaerani Heri CS Heri Kris Heri Latief Heri Listianto Herman RN Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Kuntoyo Heru Kurniawan Hikmat Darmawan Holy Adib Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humaidi Humam S Chudori I Made Asdhiana I Nyoman Suaka I. B. Putera Manuaba IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ichwan Prasetyo Ida Fitri Ignas Kleden Ilham Safutra Ilham Wancoko Imam Munadjat Imam Nawawi Imam Zanatul Huaeri Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Herdiana Imron Arlado Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indigo Art Space Madiun Indra Tjahyadi Indrian Koto Ingki Rinaldi Iqmal Tahir Is Faridatul Arifah Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Isra’ Mi’raj Iswadi Pratama Iswara N Raditya Iva Titin Shovia Iwan Awaluddin Yusuf Iwan Gunadi J. Sumardianta Jamrin Abubakar Jansen Sinamo Janu Jolang Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jemie Simatupang Jenny Ang Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jl Simo Jo Batara Surya Jodhi Yudono Joko Budhiarto Joko Sadewo Joko Sandur Joko Widodo Jones Gultom Joni Ariadinata Joresan Mlarak Ponorogo Joseph E. Stiglitz Jual Buku Paket Hemat Junus Satrio Jurnalisme Sastra K. Hirzuddin Hasbullah K.H. Anwar Manshur K.H. M. Najib Muhammad K.H. Ma’ruf Amin K.H. Masrikhan Asy'ari K.H. Mudzakir Ma'ruf Kadjie MM Kajian Kitab Nashoihul 'Ibad Kang Daniel Karanggeneng Kartika Foundation Kasanwikrama Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kekal Hamdani Kemah Budaya Panturan (KBP) Kesenian KH. M. Najib Muhammad KH. Ma'ruf Amin Khairul Mufid Jr Khawas Auskarni Khoirul Anwar Khoirul Inayah Khoirul Naim Khoirul Rosyadi Ki Ompong Sudarsono Kitab Arbain Nawawi Kitab Puisi Suluk Berahi karya Gampang Prawoto Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Koko Sudarsono Komaruddin Hidayat Kompas TV Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra Teater Lamongan (KOSTELA) Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Kopi Bubuk Mbok Djum Kopuisi Korban Gempa di Lombok Kospela KPRI IKMAL Lamongan Kris Razianto Mada Kritik Sastra Kurnia Sari Aziza Kurniawan Kusni Kasdut Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto Lagu Laili Rahmawati Laksmi Sitoresmi Lamongan Lan Fang Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Latif Fianto Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Listiyono Santoso Liya Izzatul Iffah Liza Wahyuninto Lucky Aditya Ramadhan Ludruk Jawa Timur Lukisan Lukman Alm Lukman Santoso Az Luqman Almishr Lustantini Septiningsih Lutfi S. Mendut Lynglieastrid Isabellita M Ismail M Zainuddin M. Afif Hasbullah M. Faizi M. Iqbal Dawami M. Irfan Hidayatullah M. Latief M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Mushthafa M. Riza Fahlevi M. Yoesoef M.D. Atmaja M’Shoe Madrasah Ibtida’iyah Thoriqotul Hidayah 1 Maghfur Munif Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahwi Air Tawar Majelis Ulama Indonesia Makalah Tinjauan Ilmiah Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mantan Pastur Hafidz Al-Qur'an Maqhia Nisima Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Marjohan Marsel Robot Martin Aleida Martin Hatch Marwan Ja'far Marwita Oktaviana Marzuki Mustamar Mashuri Masjid Tegalsari di Pesantren Gerbang Tinatar Masuki M. Astro Matroni el-Moezany Matroni Muserang Max Arifin Maya Handhini Mbah Kalbakal Medco Media Jawa Timur Medri Osno Mega Vristian Mei Anjar Wintolo Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Memoar Purnama di Kampung Halaman Menggalang Dana Amal Mentari Meida Mh Zaelani Tammaka Michael Gunadi Widjaja Mien Uno (Ibunda Sandiaga Uno) Misbahul Huda Misbahus Surur Moch. Faisol Mochammad A. Tomtom Moh Samsul Arifin Moh. Ghufron Cholid Mohamad Ali Hisyam Mohammad Afifi Mohammad Rafi Azzamy Mts Putra-Putri Simo-Sungelebak Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ghannoe Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad N. Hassan Muhammad Rain Muhammad Taufik Muhammad Yasir Muhammad Zia Ulhaq Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukafi Niam Mukhsin Amar Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Mun'im Sirry Muntamah Cendani Museum Bikon Blewut Ledalero Musfarayani Musfi Efrizal Musyayana Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Nabi Adam Nanang Fahrudin Nandang Darana Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Ni Luh Made Pertiwi F Nindya Herdianti Ninin Nurzalina Wati Nitis Sahpeni Nono Anwar Makarim Noor H. Dee Noorsam Noval Jubbek Novel Pekik Novianti Setuningsih Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nur Hamzah Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Al Indunissy Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nuswantoro Nyimas Nyoman Tingkat Obrolan Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Opini Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Padepokan Lemah Putih Surakarta Pagelaran Musim Tandur Pameran Seni Rupa Panda MT Siallagan Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Pekan Literasi Lamongan Pelukis Dahlan Kong Pelukis Jumartono Pelukis Saron Pelukis Senior Tarmuzie Pendidikan Penerbit SastraSewu Penerbitan dan Toko Buku PUstaka puJAngga Lamongan Pengajian Pengetahuan Perang Peringatan Hari Pahlawan 10 November Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW Pesantren An Nawawi Tanara (Penata) Pesantren Kampung Inggris Peserta TEMU SASTRA JAWA TIMUR 2011 Petrik Matanasi Pilang Tejoasri Laren Lamongan Pilang Tejoasri Laren Lamongan Jawa Timur Pilkada Piramid Giza Politik Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pradana Boy ZTF Pradaningrum Mijarto Pramoedya Ananta Toer Prih Prawesti Febriani Pringadi AS Prof Dr Achmad Zahro Prof Dr Aminuddin Kasdi Profil MA Matholi'ul Anwar Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi Puisi Menolak Korupsi (PMK) Puji Hartanto Puji Santosa Puput Amiranti N Purwanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Puspita Rose Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Satria Kusuma Putu Setia Putu Wijaya R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.Ng. Ronggowarsito Rabdul Rohim Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sazaly Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Rengga AP Reni Lismawati Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Riadi Ngasiran Rian Sindu Ribut Wijoto Rieke Diah Pitaloka Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Rizka Halida Rizky Putri Pratimi Robin Al Kautsar Rocky Gerung Rodli TL Rofiqi Hasan Rohmad Hadiwijoyo Rohmah Maulidia Rohman Abdullah Rojiful Mamduh Rosdiansyah Rosi Rosidi Roso Titi Sarkoro Rumah Budaya Pantura (RBP) Rumah Budaya Pantura Lamongan Rumah Literasi Rx King Motor S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Saifur Rohman Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sandiaga Uno Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Sardono W Kusumo Sartika Sari Sarworo Sp Sastra Facebook Satmoko Budi Santoso Satrio Lintang Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Savidapius Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Sejarah Sekolah Literasi Gratis SelaSAstra Boenga Ketjil SelaSAstra Boenga Ketjil #23 SelaSAstra Boenga Ketjil #24 Seni Ambeng Ponorogo Senirupa Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Shofiyatuz Zahroh Shohebul Umam JR Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Silfia Hanani Sindu Putra Sita Planasari Aquadini Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Hadi Purnomo Soediro Satoto Soegiharto Soeprijadi Tomodihardjo Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sreismitha Wungkul Sri Igustin Sri Mulyani Sri Wintala Achmad Sriyanto Danoesiswoyo Stefanus P. Elu Stevani Elisabeth STKIP PGRI Ponorogo Student Center Kampus ISI Yogyakarta Subagio Sastrowardoyo Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Ariyadi Sukitman Sumenep Sumiati Anastasia Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungelebak Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suripto SH Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Suyadi San Syafrizal Sahrun Syaifuddin Gani Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Syamsul Arifin Syamsul Rizal Syi'ir Syifa Amori Syifa Aulia T.A. Sakti Tajuddin Noor Ganie Tamrin Bey dan Robin Al Kautsar TanahmeraH ArtSpace Tarpin A. Nasri Taufik Rachman Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teater Air Teater Bias Teater Biru Teater Cepak Teater Dua Teater Kanjeng Teater Lingkar Merah Putih Teater Mikro Teater nDrinDinG Teater Nusa Teater Padi Teater Roda UNISDA Lamongan Teater Sakalintang Teater Tali Mama Teater Taman Teater Tawon Teater Tewol Teguh LR Temu Karya Teater Jawa Timur XXI Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Teori Darwin Teori Fisika Hawking Tgk Abdullah Lam U Tharie Rietha The Ibrahim Hosen Institute Theresia Purbandini Thomas Koten Tien Rostini Timur Arif Riyadi Tjahjono Widarmanto Tjut Zakiyah Anshari Toeti Adhitama Tosa Poetra Tri Andhi S Triyanto triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Tutut Herlina Ucu Agustin Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Uniawati Unieq Awien Universitas Jember Usman Arrumy Ustadz Bangun Samudra Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vassilisa Agata Veven Sp. Wardhana Viddy AD Daery Video Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vita Devi Ajeng Pratiwi W. Haryanto W.S. Rendra Wakos R. Gautama Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Suryandoko William Shakespeare Wisnu Kisawa Wiwik Widiyati Wong Wing King Wuri Kartiasih Y. Wibowo Yayasan Thoriqotul Hidayah 1 Yayat R. Cipasang Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yulianto Yuliawati Yunanto Sutyastomo Yunus Supriyanto Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf AN Yusuf Suharto Yusuf Wibisono Yuval Noah Harari Yuyuk Sugarman Z. Mustopa Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zarra Martsella Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zen Hae Zii Zuhdi Swt