Dr Andi Irawan*
http://www.korantempo.com/
Setidaknya ada tiga pilar yang harus hadir dalam proses perubahan besar untuk mengembalikan stabilitas sistem finansial dunia yang melepaskannya dari kerentanan terhadap serangan tsunami pasar global ke depan. Tiga pilar tersebut adalah, pertama, menjinakkan liarnya pergerakan modal di pasar. Instabilitas merupakan fakta yang built-in dalam pasar modal. Untuk itu, dunia membutuhkan semacam bank sentral skala semesta menjadi lender of the last resort bagi bank sentral negara-negara. Lembaga ini yang mengontrol pergerakan kapital dan pertumbuhan kredit global.
Ide ini sekarang dikenal dengan istilah Bretton Woods II, yang sebenarnya bukanlah ide baru. Ia pernah diusulkan oleh ekonom Inggris terkenal, John Maynard Keynes, pascaperang dunia. Bahkan Keynes lebih jauh menawarkan agar dunia mempunyai mata uang internasional yang disebutnya sebagai "bancor".
Artinya, kalau dunia memang ingin mereduksi kehadiran tsunami ekonomi di masa mendatang yang berasal dari shock pasar uang dan modal, perlu hadir suatu sistem bangunan finansial dunia yang baru, di mana ada satu Bank Sentral Dunia yang independen dan satu mata uang bersama yang disepakati oleh semua negara sebagai mata uang transaksi internasional. Hadirnya mata uang internasional bersama ini akan menghilangkan perilaku spekulasi dan gambling di pasar uang dan pasar modal. Nilai mata uang internasional tersebut bisa dipatok dengan emas, dan cadangan devisa Bank Sentral Dunia tersebut merupakan kontribusi dari negara-negara dunia.
Pilar kedua, peran negara harus ditingkatkan secara proporsional. Selama ini ideologi liberalisasi pasar yang dikomandani AS telah menjadikan liberalisasi sebagai tema sentral pembangunan dunia. Lembaga-lembaga IMF dan World Bank secara sadar atau tidak telah menjadi media internalisasi paradigma tersebut hampir pada semua negara. Hal ini menghilangkan kecerdasan lembaga ekonomi yang bernama negara dalam mengatasi persoalan ekonominya.
Seperti yang diketahui, IMF memegang paradigma tentang ekonomi pasar yang hampir dapat dikatakan tidak bisa ditawar-tawar, harus dilaksanakan oleh semua negara yang menjadi pasiennya. Program-program reformasi ekonomi IMF pasti berkisar pada empat agenda sentral penunjang pasar bebas yang dikenal sebagai kebijakan structural adjustment (lihat J.E. Medley, 2000), yakni: pertama, penerapan flexible exchange rate regime. Kedua, kebijakan moneter ketat yang ditujukan agar inflasi dan capital outflow menurun dengan jalan meningkatkan suku bunga domestik. Ketiga, reformasi struktural, seperti menghilangkan/menurunkan hambatan perdagangan dan liberalisasi sistem finansial, dan keempat, menekan belanja pemerintah atau kebijakan fiskal ketat untuk menekan inflasi karena dianggap bahwa defisit anggaran akan memacu seignorage (penciptaan uang) oleh negara untuk mendanai defisit tersebut yang akan memacu inflasi. Prinsip-prinsip kebijakan IMF tersebut hampir dapat dikatakan sudah merupakan paket yang menjadi keniscayaan pada setiap negara yang mengharapkan uluran tangan IMF sebagai suatu non-negotiable position, yakni posisi dasar IMF yang sulit dinegosiasikan dan dikompromikan.
Pilar ketiga adalah menempatkan kelembagaan ekonomi yang kita sebut sebagai pasar sebagai alat kesejahteraan, bukan menjadikannya identik dengan kesejahteraan itu sendiri. Karena itu, pilar sistem ekonomi finansial yang baru harus menempatkan pasar secara proporsional. Pandangan bahwa sirkulasi uang dan modal dalam perekonomian adalah netral, sehingga harus dikelola secara bebas agar bisa menghasilkan sistem alokasi yang efisien, ternyata tidaklah tepat. Pasar uang dan modal ternyata terbukti tidak bisa dibiarkan bergerak secara liar berdasarkan insting alamiah para pelaku ekonomi, karena semua itu menyebabkan instabilitas menjadi suatu yang tidak bisa dikelola sehingga ia bisa menjadi sumber tsunami ekonomi ke depan. Dan intervensi negara secara individual ternyata tidak efektif untuk mengendalikan instabilitas pasar uang dan pasar modal tersebut. Karena itu, kerja sama kolektif negara-negara dunia melalui suatu lembaga yang kita sebut sebagai Bank Sentral Dunia akan mengefektifkan pengendalian instabilitas pasar uang dan modal tersebut.
Dua pilar terakhir sudah disadari oleh banyak negara, terlebih-lebih ketika mereka mengetahui bahwa berulangnya krisis ekonomi hadir dalam beberapa dekade terakhir. Tetapi pilar pertama dalam wujud hadirnya Bank Sentral Dunia dan mata uang tunggal dunia bukanlah hal yang mudah. Saat ini, secara aspirasi, urgensi hadirnya sistem moneter internasional baru yang lebih egaliter, yang diistilahkan sebagai Bretton Woods II, telah diinisiasi oleh Uni Eropa. Hal ini karena mereka memiliki posisi tawar ekonomi politik yang lebih prima terhadap AS dibanding kawasan negara-negara lainnya di dunia untuk menuntut kelahiran Bretton Woods II tersebut. Uni Eropa merupakan grup negara yang telah mampu membangun kepentingan kolektif dalam ekonomi politik internasionalnya yang dibuktikan dengan hadirnya Eropa sebagai suatu entitas ekonomi politik yang dikenal dengan nama Uni Eropa dan mata uang tunggal bersama Eropa (euro). Sedangkan kawasan negara-negara lainnya, seperti Asia dan Afrika, belum mempunyai kepentingan kolektif ekonomi politik yang sama atas urgennya kehadiran Bretton Woods II.
Tapi, sayangnya, kita tidak bisa terlalu jauh berharap bahwa Uni Eropa akan mau menekan AS untuk menghadirkan Bretton Woods II tersebut. Sebab, hal itu berkonsekuensi terbuangnya energi mereka untuk berkonflik dengan AS, padahal realitas dunia saat ini harus meniscayakan kerja sama mereka dengan AS untuk mengatasi masalah-masalah sosial-ekonomi-politik global. Bretton Woods II, yang didambakan banyak pihak agar bisa terealisasi, termasuk di dalamnya ekonom peraih Nobel ekonomi Joseph E. Stiglitz, tampaknya masih merupakan mimpi indah dunia. *
*)Dosen Universitas Bengkulu dan STEI Tazkia
http://www.korantempo.com/
Setidaknya ada tiga pilar yang harus hadir dalam proses perubahan besar untuk mengembalikan stabilitas sistem finansial dunia yang melepaskannya dari kerentanan terhadap serangan tsunami pasar global ke depan. Tiga pilar tersebut adalah, pertama, menjinakkan liarnya pergerakan modal di pasar. Instabilitas merupakan fakta yang built-in dalam pasar modal. Untuk itu, dunia membutuhkan semacam bank sentral skala semesta menjadi lender of the last resort bagi bank sentral negara-negara. Lembaga ini yang mengontrol pergerakan kapital dan pertumbuhan kredit global.
Ide ini sekarang dikenal dengan istilah Bretton Woods II, yang sebenarnya bukanlah ide baru. Ia pernah diusulkan oleh ekonom Inggris terkenal, John Maynard Keynes, pascaperang dunia. Bahkan Keynes lebih jauh menawarkan agar dunia mempunyai mata uang internasional yang disebutnya sebagai "bancor".
Artinya, kalau dunia memang ingin mereduksi kehadiran tsunami ekonomi di masa mendatang yang berasal dari shock pasar uang dan modal, perlu hadir suatu sistem bangunan finansial dunia yang baru, di mana ada satu Bank Sentral Dunia yang independen dan satu mata uang bersama yang disepakati oleh semua negara sebagai mata uang transaksi internasional. Hadirnya mata uang internasional bersama ini akan menghilangkan perilaku spekulasi dan gambling di pasar uang dan pasar modal. Nilai mata uang internasional tersebut bisa dipatok dengan emas, dan cadangan devisa Bank Sentral Dunia tersebut merupakan kontribusi dari negara-negara dunia.
Pilar kedua, peran negara harus ditingkatkan secara proporsional. Selama ini ideologi liberalisasi pasar yang dikomandani AS telah menjadikan liberalisasi sebagai tema sentral pembangunan dunia. Lembaga-lembaga IMF dan World Bank secara sadar atau tidak telah menjadi media internalisasi paradigma tersebut hampir pada semua negara. Hal ini menghilangkan kecerdasan lembaga ekonomi yang bernama negara dalam mengatasi persoalan ekonominya.
Seperti yang diketahui, IMF memegang paradigma tentang ekonomi pasar yang hampir dapat dikatakan tidak bisa ditawar-tawar, harus dilaksanakan oleh semua negara yang menjadi pasiennya. Program-program reformasi ekonomi IMF pasti berkisar pada empat agenda sentral penunjang pasar bebas yang dikenal sebagai kebijakan structural adjustment (lihat J.E. Medley, 2000), yakni: pertama, penerapan flexible exchange rate regime. Kedua, kebijakan moneter ketat yang ditujukan agar inflasi dan capital outflow menurun dengan jalan meningkatkan suku bunga domestik. Ketiga, reformasi struktural, seperti menghilangkan/menurunkan hambatan perdagangan dan liberalisasi sistem finansial, dan keempat, menekan belanja pemerintah atau kebijakan fiskal ketat untuk menekan inflasi karena dianggap bahwa defisit anggaran akan memacu seignorage (penciptaan uang) oleh negara untuk mendanai defisit tersebut yang akan memacu inflasi. Prinsip-prinsip kebijakan IMF tersebut hampir dapat dikatakan sudah merupakan paket yang menjadi keniscayaan pada setiap negara yang mengharapkan uluran tangan IMF sebagai suatu non-negotiable position, yakni posisi dasar IMF yang sulit dinegosiasikan dan dikompromikan.
Pilar ketiga adalah menempatkan kelembagaan ekonomi yang kita sebut sebagai pasar sebagai alat kesejahteraan, bukan menjadikannya identik dengan kesejahteraan itu sendiri. Karena itu, pilar sistem ekonomi finansial yang baru harus menempatkan pasar secara proporsional. Pandangan bahwa sirkulasi uang dan modal dalam perekonomian adalah netral, sehingga harus dikelola secara bebas agar bisa menghasilkan sistem alokasi yang efisien, ternyata tidaklah tepat. Pasar uang dan modal ternyata terbukti tidak bisa dibiarkan bergerak secara liar berdasarkan insting alamiah para pelaku ekonomi, karena semua itu menyebabkan instabilitas menjadi suatu yang tidak bisa dikelola sehingga ia bisa menjadi sumber tsunami ekonomi ke depan. Dan intervensi negara secara individual ternyata tidak efektif untuk mengendalikan instabilitas pasar uang dan pasar modal tersebut. Karena itu, kerja sama kolektif negara-negara dunia melalui suatu lembaga yang kita sebut sebagai Bank Sentral Dunia akan mengefektifkan pengendalian instabilitas pasar uang dan modal tersebut.
Dua pilar terakhir sudah disadari oleh banyak negara, terlebih-lebih ketika mereka mengetahui bahwa berulangnya krisis ekonomi hadir dalam beberapa dekade terakhir. Tetapi pilar pertama dalam wujud hadirnya Bank Sentral Dunia dan mata uang tunggal dunia bukanlah hal yang mudah. Saat ini, secara aspirasi, urgensi hadirnya sistem moneter internasional baru yang lebih egaliter, yang diistilahkan sebagai Bretton Woods II, telah diinisiasi oleh Uni Eropa. Hal ini karena mereka memiliki posisi tawar ekonomi politik yang lebih prima terhadap AS dibanding kawasan negara-negara lainnya di dunia untuk menuntut kelahiran Bretton Woods II tersebut. Uni Eropa merupakan grup negara yang telah mampu membangun kepentingan kolektif dalam ekonomi politik internasionalnya yang dibuktikan dengan hadirnya Eropa sebagai suatu entitas ekonomi politik yang dikenal dengan nama Uni Eropa dan mata uang tunggal bersama Eropa (euro). Sedangkan kawasan negara-negara lainnya, seperti Asia dan Afrika, belum mempunyai kepentingan kolektif ekonomi politik yang sama atas urgennya kehadiran Bretton Woods II.
Tapi, sayangnya, kita tidak bisa terlalu jauh berharap bahwa Uni Eropa akan mau menekan AS untuk menghadirkan Bretton Woods II tersebut. Sebab, hal itu berkonsekuensi terbuangnya energi mereka untuk berkonflik dengan AS, padahal realitas dunia saat ini harus meniscayakan kerja sama mereka dengan AS untuk mengatasi masalah-masalah sosial-ekonomi-politik global. Bretton Woods II, yang didambakan banyak pihak agar bisa terealisasi, termasuk di dalamnya ekonom peraih Nobel ekonomi Joseph E. Stiglitz, tampaknya masih merupakan mimpi indah dunia. *
*)Dosen Universitas Bengkulu dan STEI Tazkia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar