Grathia Pitaloka
http://www.jurnalnasional.com/
Indonesia menyelenggarakan Indonesia Dance Festival untuk ke-9 kalinya. Ramai oleh kreasi penari lokal dan mancanegara.
Tak seperti Shinta yang setia mempertahankan cintanya kepada Rama, Siti justru tergoda dengan rayuan maut Ledoro. Bahkan Siti tak kuasa menolak ajakan Ledoro untuk memadu kasih meski Setyo, suaminya sedang berdiri tanpa daya di sampingnya.
Pengkhianatan Siti berhasil ditampilkan dengan indah di atas panggung oleh sutradara Garin Nugroho. Penataan cahaya serta tabuhan drum (diatonik) yang berdentam di sudut panggung mampu menghidupkan suasana dramatis. Hingga di penghujung cerita, Garin menuntaskan ceritanya dengan akhir yang tragis, Siti, Setyo dan Ledoro mati.
Tarian berjudul The Iron Bed yang merupakan salah satu segmen film Opera Jawa karya Sutradara Garin Nugroho ini ditampilkan sebagai salah satu sajian pembuka pada Indonesian Dance Festival (IDF) ke-IX.
Selain The Iron Bed, festival tari kontemporer ini menampilkan sepuluh karya dari empat belas koreografer yang berasal dari enam negara termasuk Indonesia. Festival yang berlangsung selama empat hari ini juga mengetengahkan diskusi serta lokakarya.
Jumlah negara yang turut serta pada IDF kali ini lebih sedikit dibanding pada ajang sebelumnya yang menghadirkan tujuh negara. Sementara untuk jumlah koreografer yang terlibat mengalami peningkatan, dari dua belas orang menjadi empat belas orang.
Hingga penyelenggaraan kedelapan IDF telah menampilkan 63 koreografer Indonesia, di antaranya 41 pria dan 22 wanita yang berasal dari berbagai daerah. Sedangkan koreografer dari mancanegara yang ambil bagian sampai IDF VIII berjumlah tak kurang dari 48 orang yang terberasal dari 16 negara.
Pada mulanya IDF merupakan festival yang diselenggarakan tiap tahun. Tetapi karena keterbatasan dana mulai periode ketiga berubah menjadi dua tahun sekali. "Untuk menyelenggarakan festival besar setiap tahun merupakan hal yang berat bagi kami," kata Direktur 9th IDF, Nungki Kusumastuti ketika ditemui Jurnal Nasional di Taman Ismail Marzuki Jakarta, Selasa (25/10).
Nungki menjelaskan, baik secara tema maupun visi misi IDF kali ini tidak memiliki perbedaan dengan IDF tahun sebelumnya. "Istimewanya di saat susah seperti sekarang ini kami masih mampu menyelenggarakan IDF," tutur Nungki.
Indonesia merupakan salah satu lumbung kebudayaan di dunia, tetapi sayangnya tak banyak seniman Indonesia yang mendapat kesempatan untuk mengembangkan diri hingga ke mancanegara. "Seniman kita kekurangan wadah untuk mengaktualisasikan diri agar karya mereka dapat dikenal sampai ke luar negeri," ujar Nungki.
Ia menuturkan pengalaman para mahasiswanya giat berlatih untuk menampilkan sebuah pertunjukan. Tetapi sayangnya pertunjukan itu hanya ditonton oleh kalangan terbatas. "Karya seniman pemula hanya diapresiasi oleh segelintir orang, hal itu yang terkadang membuat langkah mereka mandek," kata perempuan kelahiran Banda Aceh, 29 Desember 1958 ini.
Untuk itu pada tahun 1992 sejumlah penari yang terdiri dari, Sal Murgiyanto, Nungki Kusumastuti, Melina Surja Dewi, Maria Darmaningsih, Dedy Lutan dan Tom Ibnur berinisiatif membuat sebuah festival guna mewadahi para generasi muda. "IDF merupakan ajang yang tepat bagi para seniman pemula untuk mengembangkan jaringan agar dapat bersaing di kancah dunia," kata perempuan yang memiliki nama panjang Siti Nurhairani Kusumastuti ini.
Nungki mencontohkan Eko Supriyanto, penari asal Solo ini tampil di IDF tahun 1993 sebagai pemula. Melalui ajang tersebut Eko banyak berkenalan dengan seniman tari dunia hingga kemudian mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikan ke luar negeri. "Kini Eko tercatat sebagai penari papan atas berkelas internasional," ujar ibu satu anak ini.
Pengajar di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) ini juga menuturkan, misi IDF untuk menumbuhkan rasa kemanusiaan di antara keragaman. Ia mengatakan, keragaman sebaiknya disikapi sebagai sebuah karunia yang memperkaya nilai kehidupan. "Keberagaman akan menciptakan karya-karya seni yang heterogen," kata Nungki.
Nungki berharap, saling menghargai dalam perbedaan tak dijadikan semboyan melainkan diterapkan pada kehidupan sehari-hari, sehingga pada akhirnya mempengaruhi semangat dalam berkarya. "Kolaborasi sempurna memerlukan sikap saling menghargai satu sama lain," ujar perempuan yang membintangi film Berbagi Suami garapan sutradara Nia Dinata.
Menjawab Era Globalisasi
Pemrakarsa IDF, Sal Murgiyanto menuturkan, festival yang berlangsung sejak tahun 1992 ini merupakan jawaban terhadap tantangan era globalisasi. "Bagaimana kita menempatkan diri pada posisi yang tepat, tidak tergerus arus globalisasi tetapi juga tidak menolak," kata kritikus tari yang memiliki nama panjang Matheus Saleh Murgiyanto.
Ia memberikan contoh penari asal Jepang, Min Tanaka yang mengelaborasi tradisi masa lalu dan memadukannya dengan nilai-nilai masa kini. "Nilai hakiki berkesenian mulai terlupakan berganti menjadi hiburan semata, hal itu terjadi pula di Indonesia dan harus kita lawan," ujar pria yang pernah mengenyam pendidikan di Departemen Kajian Pertunjukkan Tisch School of Arts, New York University, USA.
Lelaki kelahiran Surakarta, 7 Juli 1939 ini mengatakan, Indonesia memiliki modal untuk bersaing di dunia tari internasional. Etnik yang begitu beragam merupakan sebuah kekuatan untuk melahirkan beraneka tarian. "Kita memiliki daya saing untuk bersaing di forum internasional," kata penulis buku Ketika Cahaya Merah Memudar : Sebuah Kritik Tari ini.
Sal berharap, agar IDF dapat menjadi ajang bagi koreografer muda untuk melatih keterampilan serta pola pikir kritis. "Penting bagi seorang penari untuk memiliki nurani, untuk apa memiliki skill tinggi tetapi tidak berbuat untuk kemanusiaan," ujar Anggota World Dance Alliance Asia Pacific Centre ini.
Proses regenerasi yang berjalan lambat merupakan wajah dari dunia tari kontemporer tanah air. Sebagai contoh, beberapa seniman pernah tampil lebih dari satu kali di ajang IDF. "Kaderisasi masih menjadi persoalan besar di dunia tari saat ini, padahal sudah waktunya kami-kami ini mundur kebelakang," kata Nungki.
Selain bermanfaat untuk proses regenerasi penari, IDF juga memiliki visi untuk membentuk penonton Indonesia yang cerdas dan peka akan kesenian-kesenian berbobot. "Penonton yang tidak hanya berkutat pada harga tiket melainkan melihat makna di balik itu semua," kata Sal.
Meneropong secara luas, IDF tidak hanya memberikan manfaat bagi dunia seni, tetapi Indonesia pada umumnya. "Kehadiran para penari internasional merupakan salah satu bukti bahwa Indonesia aman," ujar Nungki.
Hambatan Dana
Pendanaan merupakan sebuah masalah klasik yang dihadapi untuk membuat sebuah festival seni. "Bahkan hingga menit-menit terakhir total dana yang dibutuhkan sebesar Rp 1,3 milliar belum juga terpenuhi," kata perempuan yang masih tampak cantik di usianya yang telah menginjak setengah abad.
Nungki mengatakan, keterbatasan dana menyebabkan panitia tidak dapat menyediakan dana transportasi untuk peserta yang dari mancanegara. "Kami hanya memberikan sedikit bantuan untuk produksi dan dana akomodasi selama di Indonesia," ujar putri pasangan Dr. Sayid Warsito dan Siti Retnorini ini.
Untungnya Pemerintah Daerah (Pemda) DKI Jakarta bersedia menanggung sepertiga dari anggaran yang dibutuhkan oleh panitia. "Memang belum menutupi seluruh dana yang dibutuhkan, tetapi kami merasa sangat terbantu," kata Nungki.
Berbagai upaya juga ditempuh buat mengumpulkan dana, di antaranya yang dilakukan oleh istri Duta Besar Singapura untuk Indonesia, Madam Gouri Mirpuri. Ia menyelenggarakan penggalangan dana khusus di kalangan asing, termasuk di dalamnya kalangan diplomatik.
Dunia kuliner tanah air juga tak mau kalah berperan serta dalam festival tari internasional ini melalui lelang. Salah seorang yang terlibat melakukan presentasi singkatnya tentang kuliner Indonesia adalah Laksmi Pamuntjak.
Meski panitia tidak memberikan dana dalam jumlah besar untuk setiap peserta yang tampil, tetapi antusiasisme para penari pemula patut diacungi jempol. "Indonesia masih merupakan tempat yang 'seksi' di mata mereka. IDF juga dianggap sebagai salah satu ajang yang cukup bergengsi di mata dunia," ujar Nungki.
Salah satu pendiri IDF, Maria Darmaningsih berharap, semoga dengan dana yang terbatas IDF dapat meningkatkan posisi kesenian tari di Indonesia secara signifikan. "Semoga saja acara-acara penggalangan dana dan kepedulian terhadap dunia tari akan dapat diikuti komunitas seni lain" kata Maria.
Selain pendanaan, permasalahan lain yang menyeruak ke permukaan adalah masalah kurangnya sumber daya manusia. "Padahal di samping penyelenggara kami juga memiliki kesibukan lain baik sebagai dosen ataupun penari," kata perempuan yang menjadi pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia ini.
Ia menuturkan bahwa tenaga profesional untuk manajemen kesenian di Indonesia jumlahnya masih sangat terbatas. "Kalau kami menggunakan manajer dari luar dunia kesenian, seringkali idealismenya tidak cocok," ujar Anggota Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) ini.
Antusiasme Penonton
Dari barisan penonton, tampak mantan putri Indonesia Artika Sari Devi berdecak kagum menyaksikan penampilan Eko Supriyanto dan kawan-kawan dalam The Iron Bed. Artika yang menjadi pemeran utama dalam film Opera Jawa ini merasa tarian yang ditontonnya menampilkan sesuatu yang benar-benar berbeda dan baru. "Banyak kolaborasi yang berbeda, seperti Titi Sjuman yang memainkan perkusi. Saya menikmati semua pertunjukan ini," kata perempuan yang baru saja menikah itu.
Ia juga mengaku salut melihat banyaknya mahasiswa yang menonton pertunjukan ini. Perempuan berdarah Jawa ini mengatakan, sangat menghargai apresiasi dari generasi muda.
Sementara pendiri dan pimpinan Teater Koma, Nano Riantiarno menilai pertunjukan IDF layak direkomendasikan sebagai tontonan bergizi. Menurut dia, ajang ini merupakan upaya yang sangat bagus untuk perkembangan seni pertunjukan. "Saya beruntung bisa punya kesempatan nonton. Inspirasinya jelas akan sangat mempengaruhi saya," ungkapnya yang malam itu datang bersama sang istri, Ratna Riantiarno.
http://www.jurnalnasional.com/
Indonesia menyelenggarakan Indonesia Dance Festival untuk ke-9 kalinya. Ramai oleh kreasi penari lokal dan mancanegara.
Tak seperti Shinta yang setia mempertahankan cintanya kepada Rama, Siti justru tergoda dengan rayuan maut Ledoro. Bahkan Siti tak kuasa menolak ajakan Ledoro untuk memadu kasih meski Setyo, suaminya sedang berdiri tanpa daya di sampingnya.
Pengkhianatan Siti berhasil ditampilkan dengan indah di atas panggung oleh sutradara Garin Nugroho. Penataan cahaya serta tabuhan drum (diatonik) yang berdentam di sudut panggung mampu menghidupkan suasana dramatis. Hingga di penghujung cerita, Garin menuntaskan ceritanya dengan akhir yang tragis, Siti, Setyo dan Ledoro mati.
Tarian berjudul The Iron Bed yang merupakan salah satu segmen film Opera Jawa karya Sutradara Garin Nugroho ini ditampilkan sebagai salah satu sajian pembuka pada Indonesian Dance Festival (IDF) ke-IX.
Selain The Iron Bed, festival tari kontemporer ini menampilkan sepuluh karya dari empat belas koreografer yang berasal dari enam negara termasuk Indonesia. Festival yang berlangsung selama empat hari ini juga mengetengahkan diskusi serta lokakarya.
Jumlah negara yang turut serta pada IDF kali ini lebih sedikit dibanding pada ajang sebelumnya yang menghadirkan tujuh negara. Sementara untuk jumlah koreografer yang terlibat mengalami peningkatan, dari dua belas orang menjadi empat belas orang.
Hingga penyelenggaraan kedelapan IDF telah menampilkan 63 koreografer Indonesia, di antaranya 41 pria dan 22 wanita yang berasal dari berbagai daerah. Sedangkan koreografer dari mancanegara yang ambil bagian sampai IDF VIII berjumlah tak kurang dari 48 orang yang terberasal dari 16 negara.
Pada mulanya IDF merupakan festival yang diselenggarakan tiap tahun. Tetapi karena keterbatasan dana mulai periode ketiga berubah menjadi dua tahun sekali. "Untuk menyelenggarakan festival besar setiap tahun merupakan hal yang berat bagi kami," kata Direktur 9th IDF, Nungki Kusumastuti ketika ditemui Jurnal Nasional di Taman Ismail Marzuki Jakarta, Selasa (25/10).
Nungki menjelaskan, baik secara tema maupun visi misi IDF kali ini tidak memiliki perbedaan dengan IDF tahun sebelumnya. "Istimewanya di saat susah seperti sekarang ini kami masih mampu menyelenggarakan IDF," tutur Nungki.
Indonesia merupakan salah satu lumbung kebudayaan di dunia, tetapi sayangnya tak banyak seniman Indonesia yang mendapat kesempatan untuk mengembangkan diri hingga ke mancanegara. "Seniman kita kekurangan wadah untuk mengaktualisasikan diri agar karya mereka dapat dikenal sampai ke luar negeri," ujar Nungki.
Ia menuturkan pengalaman para mahasiswanya giat berlatih untuk menampilkan sebuah pertunjukan. Tetapi sayangnya pertunjukan itu hanya ditonton oleh kalangan terbatas. "Karya seniman pemula hanya diapresiasi oleh segelintir orang, hal itu yang terkadang membuat langkah mereka mandek," kata perempuan kelahiran Banda Aceh, 29 Desember 1958 ini.
Untuk itu pada tahun 1992 sejumlah penari yang terdiri dari, Sal Murgiyanto, Nungki Kusumastuti, Melina Surja Dewi, Maria Darmaningsih, Dedy Lutan dan Tom Ibnur berinisiatif membuat sebuah festival guna mewadahi para generasi muda. "IDF merupakan ajang yang tepat bagi para seniman pemula untuk mengembangkan jaringan agar dapat bersaing di kancah dunia," kata perempuan yang memiliki nama panjang Siti Nurhairani Kusumastuti ini.
Nungki mencontohkan Eko Supriyanto, penari asal Solo ini tampil di IDF tahun 1993 sebagai pemula. Melalui ajang tersebut Eko banyak berkenalan dengan seniman tari dunia hingga kemudian mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikan ke luar negeri. "Kini Eko tercatat sebagai penari papan atas berkelas internasional," ujar ibu satu anak ini.
Pengajar di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) ini juga menuturkan, misi IDF untuk menumbuhkan rasa kemanusiaan di antara keragaman. Ia mengatakan, keragaman sebaiknya disikapi sebagai sebuah karunia yang memperkaya nilai kehidupan. "Keberagaman akan menciptakan karya-karya seni yang heterogen," kata Nungki.
Nungki berharap, saling menghargai dalam perbedaan tak dijadikan semboyan melainkan diterapkan pada kehidupan sehari-hari, sehingga pada akhirnya mempengaruhi semangat dalam berkarya. "Kolaborasi sempurna memerlukan sikap saling menghargai satu sama lain," ujar perempuan yang membintangi film Berbagi Suami garapan sutradara Nia Dinata.
Menjawab Era Globalisasi
Pemrakarsa IDF, Sal Murgiyanto menuturkan, festival yang berlangsung sejak tahun 1992 ini merupakan jawaban terhadap tantangan era globalisasi. "Bagaimana kita menempatkan diri pada posisi yang tepat, tidak tergerus arus globalisasi tetapi juga tidak menolak," kata kritikus tari yang memiliki nama panjang Matheus Saleh Murgiyanto.
Ia memberikan contoh penari asal Jepang, Min Tanaka yang mengelaborasi tradisi masa lalu dan memadukannya dengan nilai-nilai masa kini. "Nilai hakiki berkesenian mulai terlupakan berganti menjadi hiburan semata, hal itu terjadi pula di Indonesia dan harus kita lawan," ujar pria yang pernah mengenyam pendidikan di Departemen Kajian Pertunjukkan Tisch School of Arts, New York University, USA.
Lelaki kelahiran Surakarta, 7 Juli 1939 ini mengatakan, Indonesia memiliki modal untuk bersaing di dunia tari internasional. Etnik yang begitu beragam merupakan sebuah kekuatan untuk melahirkan beraneka tarian. "Kita memiliki daya saing untuk bersaing di forum internasional," kata penulis buku Ketika Cahaya Merah Memudar : Sebuah Kritik Tari ini.
Sal berharap, agar IDF dapat menjadi ajang bagi koreografer muda untuk melatih keterampilan serta pola pikir kritis. "Penting bagi seorang penari untuk memiliki nurani, untuk apa memiliki skill tinggi tetapi tidak berbuat untuk kemanusiaan," ujar Anggota World Dance Alliance Asia Pacific Centre ini.
Proses regenerasi yang berjalan lambat merupakan wajah dari dunia tari kontemporer tanah air. Sebagai contoh, beberapa seniman pernah tampil lebih dari satu kali di ajang IDF. "Kaderisasi masih menjadi persoalan besar di dunia tari saat ini, padahal sudah waktunya kami-kami ini mundur kebelakang," kata Nungki.
Selain bermanfaat untuk proses regenerasi penari, IDF juga memiliki visi untuk membentuk penonton Indonesia yang cerdas dan peka akan kesenian-kesenian berbobot. "Penonton yang tidak hanya berkutat pada harga tiket melainkan melihat makna di balik itu semua," kata Sal.
Meneropong secara luas, IDF tidak hanya memberikan manfaat bagi dunia seni, tetapi Indonesia pada umumnya. "Kehadiran para penari internasional merupakan salah satu bukti bahwa Indonesia aman," ujar Nungki.
Hambatan Dana
Pendanaan merupakan sebuah masalah klasik yang dihadapi untuk membuat sebuah festival seni. "Bahkan hingga menit-menit terakhir total dana yang dibutuhkan sebesar Rp 1,3 milliar belum juga terpenuhi," kata perempuan yang masih tampak cantik di usianya yang telah menginjak setengah abad.
Nungki mengatakan, keterbatasan dana menyebabkan panitia tidak dapat menyediakan dana transportasi untuk peserta yang dari mancanegara. "Kami hanya memberikan sedikit bantuan untuk produksi dan dana akomodasi selama di Indonesia," ujar putri pasangan Dr. Sayid Warsito dan Siti Retnorini ini.
Untungnya Pemerintah Daerah (Pemda) DKI Jakarta bersedia menanggung sepertiga dari anggaran yang dibutuhkan oleh panitia. "Memang belum menutupi seluruh dana yang dibutuhkan, tetapi kami merasa sangat terbantu," kata Nungki.
Berbagai upaya juga ditempuh buat mengumpulkan dana, di antaranya yang dilakukan oleh istri Duta Besar Singapura untuk Indonesia, Madam Gouri Mirpuri. Ia menyelenggarakan penggalangan dana khusus di kalangan asing, termasuk di dalamnya kalangan diplomatik.
Dunia kuliner tanah air juga tak mau kalah berperan serta dalam festival tari internasional ini melalui lelang. Salah seorang yang terlibat melakukan presentasi singkatnya tentang kuliner Indonesia adalah Laksmi Pamuntjak.
Meski panitia tidak memberikan dana dalam jumlah besar untuk setiap peserta yang tampil, tetapi antusiasisme para penari pemula patut diacungi jempol. "Indonesia masih merupakan tempat yang 'seksi' di mata mereka. IDF juga dianggap sebagai salah satu ajang yang cukup bergengsi di mata dunia," ujar Nungki.
Salah satu pendiri IDF, Maria Darmaningsih berharap, semoga dengan dana yang terbatas IDF dapat meningkatkan posisi kesenian tari di Indonesia secara signifikan. "Semoga saja acara-acara penggalangan dana dan kepedulian terhadap dunia tari akan dapat diikuti komunitas seni lain" kata Maria.
Selain pendanaan, permasalahan lain yang menyeruak ke permukaan adalah masalah kurangnya sumber daya manusia. "Padahal di samping penyelenggara kami juga memiliki kesibukan lain baik sebagai dosen ataupun penari," kata perempuan yang menjadi pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia ini.
Ia menuturkan bahwa tenaga profesional untuk manajemen kesenian di Indonesia jumlahnya masih sangat terbatas. "Kalau kami menggunakan manajer dari luar dunia kesenian, seringkali idealismenya tidak cocok," ujar Anggota Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) ini.
Antusiasme Penonton
Dari barisan penonton, tampak mantan putri Indonesia Artika Sari Devi berdecak kagum menyaksikan penampilan Eko Supriyanto dan kawan-kawan dalam The Iron Bed. Artika yang menjadi pemeran utama dalam film Opera Jawa ini merasa tarian yang ditontonnya menampilkan sesuatu yang benar-benar berbeda dan baru. "Banyak kolaborasi yang berbeda, seperti Titi Sjuman yang memainkan perkusi. Saya menikmati semua pertunjukan ini," kata perempuan yang baru saja menikah itu.
Ia juga mengaku salut melihat banyaknya mahasiswa yang menonton pertunjukan ini. Perempuan berdarah Jawa ini mengatakan, sangat menghargai apresiasi dari generasi muda.
Sementara pendiri dan pimpinan Teater Koma, Nano Riantiarno menilai pertunjukan IDF layak direkomendasikan sebagai tontonan bergizi. Menurut dia, ajang ini merupakan upaya yang sangat bagus untuk perkembangan seni pertunjukan. "Saya beruntung bisa punya kesempatan nonton. Inspirasinya jelas akan sangat mempengaruhi saya," ungkapnya yang malam itu datang bersama sang istri, Ratna Riantiarno.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar